Kutemukandua gundukan indah yang lebih ranum dari Merapi yang usianya sudah seumurbumi. Pandangannya agak meredup, lalu dia memelukku,satu kecupan mendarat di bibir tebalku, sesaat kemudian kulihat Gendhuktersenyum penuh arti dan matanya seolah ingin mengatakan sesuatu. Bokeb NamanyaEnno, dia seorang penyiar remaja yang cukup dikenal di kotakecil itu, pada masa itu. Kujilatilehernya, aku cupang pangkal lehernya.Irama hujan seolah menabuhi apa yang kami lakukan. Kudorong tubuhnya ke arah tembok agar tak terlalu berat menyangga beban berat tubuhnya yang disesaki berahi itu. Gendhuk diam saja, Untuk beberapa saat dia memandangi mukaku yang hancurseperti si Komar 4 sekawan itu. Kini matanya terbuka, dipandanginya aku dengan sorot yang tak bisa kulukiskandengan kata-kata, lalu dengan cepat mulutnya menyambar mulutku. Kurasakantangannya mulai naik merangkul leherku, semakin lama makin erat pegangannya.Kuturunkan bibirku ke arah leher jenjangnya, kuciumi dengan nafsu yangsedikit kupendam sehingga tak meluap begitu saja.Tiba-tiba kepalanya terdongak, dan kali itulah aku melihat seorang wanitamenggelinjang.. Saat kebetulan sampai di sana Enno memang baru menungguku.




















