Dian tidak henti2nya menangis karena rasa sakit yang luar biasa tersebut, serta meratapi nasibnya yang malang.Si Botak berpuluh2 kali mencambuki pantat, punggung, dan paha Dian dengan cambuk kulitnya, sedangkan si Kumis dengan rotan. “Jangan bergerak lo, masih bagus kita gak perkosa! Bokef Ko Aseng, demikian tetangga dan kerabat memanggil saya. Si Hitam merekam adegan penyiksaan itu dengan kamera HPnya. Lalu si Kumis yang gantian menampar pantat Dian yang sebelah kanan. Nampaknya ia sudah dibakar oleh hawa nafsu akan kecantikan Dian, anak saya yang tertua. Lagipula dia sudah tidak perawan.” kataku, berusaha untuk berbohong.Si hitam hanya tertawa mendengar kebohongan saya. Itu sumber penghasilan saya satu2nya.”Beberapa saat setalah mengucapkan kata2 itu, saya hening. Kedua temannya, satu yang berkumis, dan satu yang botak, kemudian menyeret Dian dan adiknya, Felia, ke ruang utama tempat saya diikat. Setelah sekujur tubuh Dian penuh dengan luka dan bekas merah, ia pun jatuh pingsan karena kesakitan.Ketiga preman itu melirik Felia yang sedari tadi mereka ikat




















